Pages

Wednesday, August 19, 2009

19 tanda gagal Ramadhan............

Di bulan Ramadhan, pintu neraka ditutup dan pintu syurga dibuka lebar-lebar. Namun banyak orang gagal mendapatkan kemuliaannya. Di bawah ini merupakan tanda-tanda yang menyatakan akan gagalnya Ramadhan seseorang itu berdasarkan:

1. Kurang melakukan persiapan di bulan Sya’ban.


Misalnya, tidak tumbuh keinginan melatih bangun malam dengan shalat tahajjud. Begitupun tidak melakukan puasa sunnah Sya’ban, sebagaimana telah disunnahkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadits Bukhari dan Muslim, dari Aisyah Radhiallaahu ‘anha berkata,
”Saya tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat beliau banyak berpuasa selain di bulan Sya’ban.”

2. lambat didalam menunaikan mengulur shalat fardhu.


“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan kecuali orang-orang yang bertaubat dan beramal shalih.” (Maryam: 59)
"Celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya." (Al-Ma'un: 4-5)

Menurut Sa’id bin Musayyab, yang dimaksud dengan tarkush-shalat (meninggalkan shalat) ialah tidak segera mendirikan shalat tepat pada waktunya. Misalnya menjalankan shalat zhuhur menjelang waktu ashar, ashar menjelang maghrib, shalat maghrib menjelang isya, shalat isya menjelang waktu subuh serta tidak segera shalat subuh hingga terbit matahari. Orang yang bershiyam Ramadhan sangat disiplin menjaga waktu shalat, karena nilainya setara dengan 70 kali shalat fardhu di bulan lain.

3. Malas menjalankan ibadah-ibadah sunnah.


Termasuk di dalamnya menjalankan ibadah shalatul-lail. Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah merupakan ciri orang yang shalih.
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (Al-Anbiya:90)
“Dan hamba-Ku masih mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, sampai Aku mencintainya.” (Hadits Qudsi)

4. Kikir dan rakus pada harta benda.


Takut rugi jika mengeluarkan banyak infaq dan shadaqah adalah tandanya. Salah satu sasaran utama shiyam agar manusia mampu mengendalikan sifat rakus pada makan minum maupun pada harta benda, karena ia termasuk sifat kehewanan (Bahimiyah). Cinta dunia serta gelimang kemewahan hidup sering membuat manusia lupa akan tujuan hidup sesungguhnya.
Mendekat kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala, akan menguatkan sifat utama kemanusiaan (Insaniyah).

5. Malas membaca Al-Qur’an.


Ramadhan juga disebut Syahrul Qur’an, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an. Orang-orang shalih di masa lalu menghabiskan waktunya baik siang maupun malam Ramadhan untuk membaca Al-Qur’an.

“Ibadah ummatku yang paling utama adalah pembacaan Al-Qur’an.” (HR Baihaqi)
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya".(HR Bukhari)

Ramadhan adalah saat yang tepat untuk menimba dan menggali sebanyak mungkin kemuliaan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup. Kebiasaan baik ini harus nampak berlanjut setelah Ramadhan pergi, sebagai tanda keberhasilan latihan di bulan suci.

6. Mudah mengumbar amarah.

Ramadhan adalah bulan kekuatan. Nabi Saw bersabda: “Orang kuat bukanlah orang yang selalu menang ketika berkelahi. Tapi orang yang kuat adalah orang yang bisa menguasai diri ketika marah.”

Dalam hadits lain beliau bersabda: “Puasa itu perisai diri, apabila salah seorang dari kamu berpuasa maka janganlah ia berkata keji dan jangan membodohkan diri. Jika ada seseorang memerangimu atau mengumpatmu, maka katakanlah sesesungguhnya saya sedang berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)


7. Gemar bicara sia-sia dan dusta.


“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta perbuatan Az-Zur, maka Allah tidak membutuhkan perbuatan orang yang tidak bersopan santun, maka tiada hajat bagi Allah padahal dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR Bukhari dari Abu Hurairah)

Kesempatan Ramadhan adalah peluang bagi kita untuk mengatur dan melatih lidah supaya senantiasa berkata yang baik-baik. Umar ibn Khattab Ra berkata: “Puasa ini bukanlah hanya menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi juga dari dusta, dari perbuatan yang salah dan tutur kata yang sia-sia.” (Al Muhalla VI: 178) Ciri orang gagal memetik buah Ramadhan kerap berkata di belakang hatinya. Kalimat-kalimatnya tidak ditimbang secara masak: “Bicara dulu baru berpikir, bukan sebaliknya, berpikir dulu, disaring, baru diucapkan.”


8. Memutuskan tali silaturrahim.


Ketika menyambut datangnya Ramadhan Rasulullah Saw bersabda: “…Barangsiapa menyambung tali persaudaraan (silaturrahim) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya…” Puasa mendidik pribadi-pribadi untuk menumbuhkan jiwa kasih sayang dan tali cinta.

Pelaku shiyam jiwanya dibersihkan dari kekerasan hati dan kesombongan, diganti dengan perangai yang lembut, halus dan tawadhu. Apabila ada atau tidak adanya Ramadhan tidak memperkuat hubungan kekeluargaan dan persaudaraan, itu tanda kegagalan.

9. Menyia-nyiakan waktu.


Al-Qur’an mendokumentasikan dialog Allah Swt dengan orang-orang yang menghabiskan waktu mereka untuk bermain-main.
“Allah bertanya: ‘ Berapa tahunkan lamanya kamu tinggal di bumi?’
Mereka menjawab: ‘Kami tinggal di bumi sehari atau setengah hari. maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.’
Allah berfirman: ‘Kamu tidak tingal di bumi melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui. "Maka apakah kamu mengira sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang sebenarnya; tidak Tuhan yang berhak disembah selain Dia, Tuhan yang mempunyai ‘Arsy yang mulia.” (Al-Mu’minun: 112-116)

Termasuk gagal dalam ber-Ramadhan orang yang lalai atas karunia waktu dengan melakukan perbuatan sia-sia, kemaksiatan, dan hura-hura. Disiplin waktu selama Ramadhan semestinya membekas kuat dalam bentuk cinta ketertiban dan keteraturan.

10. Labil dalam menjalani hidup.



Labil alias perasaan gamang, khawatir, risau, serta gelisah dalam menjalani hidup juga tanda gagal Ramadhan. Pesan Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya telah datang bulan Ramadhan yang penuh berkah. Allah telah memfardhukan atas kamu berpuasa di dalamnya. Dibuka semua pintu surga, dikunci semua pintu neraka dan dibelenggu segala syetan. Di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa tiada diberikan kebajikan malam itu, maka sungguh tidak diberikan kebajikan atasnya.” (HR Ahmad, Nasa’i, Baihaqi dari Abu Hurairah)
Bila seseorang meraih berkah bulan suci ini, jiwanya mantap, hatinya tenteram, perasaannya tenang dalam menghadapi keadaan apapun.

11. Tidak bersemangat mensyiarkan Islam.


Salah satu ciri utama alumnus Ramadhan yang berhasil ialah tingkat taqwa yang meroket. Dan setiap orang yang ketaqwaannya semakin kuat ialah semangat mensyiarkan Islam. Berbagai kegiatan ‘amar ma’ruf nahiy munkar dilakukannya, karena ia ingin sebanyak mungkin orang merasakan kelezatan iman sebagaimana dirinya. Jika semangat ini tak ada, gagal lah Ramadhan seseorang.

12. Khianat terhadap amanah.


Shiyam adalah amanah Allah yang harus dipelihara (dikerjakan) dan selanjutnya dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak.
Shiyam itu ibarat utang yang harus ditunaikan secara rahasia kepada Allah. Orang yang terbiasa memenuhi amanah dalam ibadah sir (rahasia) tentu akan lebih menepati amanahnya terhadap orang lain, baik yang bersifat rahasia maupun yang nyata. Sebaliknya orang yang gagal Ramadhan mudah mengkhianati amanah, baik dari Allah maupun dari manusia.




13. Rendah motivasi hidup berjama’ah.


Frekuensi shalat berjama’ah di masjid meningkat tajam selama Ramadhan. Selain itu, lapar dan haus menajamkan jiwa sosial dan empati terhadap kesusahan sesama manusia, khususnya sesama Muslim. Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang berjuang secara berjama’ah, yang saling menguatkan.
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam saatu barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaf: 4)
Ramadhan seharusnya menguatkan motivasi untuk hidup berjama’ah.

14. Tinggi ketergantungannya pada makhluk.


Hawa nafsu dan syahwat yang digembleng habis-habisan selama bulan Ramadhan merupakan pintu utama ketergantungan manusia pada sesama makhluk. Jika jiwa seseorang berhasil merdeka dari kedua mitra syetan itu setelah Ramadhan, maka yang mengendalikan dirinya adalah fikrah dan akhlaq. Orang yang tunduk dan taat kepada Allah lebih mulia dari mereka yang tunduk kepada makhluk.


15. Malas membela dan menegakkan kebenaran.


Sejumlah peperangan dilakukan kaum Muslimin melawan tentara-tentara kafir berlangsung di bulan Ramadhan. Kemenangan Badar yang spektakuler itu dan penaklukan Makkah (Futuh Makkah) terjadi di bulan Ramadhan. Di tengah gelombang kebathilan dan kemungkaran yang semakin berani unjuk gigi, para alumni akademi Ramadhan seharusnya semakin gigih dan strategis dalam membela dan menegakkan kebenaran. Jika bulan suci ini tidak memberi bekal perjuangan baru yang bernilai spektakuler, maka kemungkinan besar ia telah meninggalkan kita sebagai pecundang.


16. Tidak mencintai kaum dhuafa.

Syahru Rahmah, Bulan Kasih Sayang adalah nama lain Ramadhan, karena di bulan ini Allah melimpahi hamba-hamba-Nya dengan kasih sayang ekstra. Shiyam Ramadhan menanam benih kasih sayang terhadap orang-orang yang paling lemah di kalangan masyarakat. Faqir miskin, anak-anak yatim dan mereka yang hidup dalam kemelaratan. Rasa cinta kita terhadap mereka seharusnya bertambah. Jika cinta jenis ini tidak bertambah sesudah bulan suci ini, berarti Anda perlu segera instrospeksi.

17. Salah dalam memaknai akhir Ramadhan.


Khalifah Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan seluruh rakyatnya supaya mengakhiri puasa dengan memperbanyak istighfar dan memberikan sadaqah, karena istighfar dan sadaqah dapat menambal yang robek-robek atau yang pecah-pecah dari puasa. Menginjak hari-hari berlalunya Ramadhan, mestinya kita semakin sering melakukan muhasabah (introspeksi) diri.
“Wahai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18 )

18. Sibuk mempersiapkan Lebaran.


Kebanyakan orang semakin disibukkan oleh urusan lahir dan logistik menjelah Iedul Fitri. Banyak yang lupa bahwa 10 malam terakhir merupakan saat-saat genting yang menentukan nilai akhir kita di mata Allah dalam bulan mulia ini. Menjadi pemenang sejati atau pecundang sejati.
Konsentrasi pikiran telah bergeser dari semangat beribadah, kepada luapan kesenangan merayakan Idul Fitri dengan berbagai kegiatan, akibatnya lupa seharusnya sedih akan berpisah dengan bulan mulia ini.

19. Idul Fitri dianggap hari kebebasan.


Secara harfiah makna Idul Fitri berarti “hari kembali ke fitrah”. Namun kebanyakan orang memandang Iedul Fitri laksana hari dibebaskannya mereka dari “penjara” Ramadhan. Akibatnya, hanya beberapa saat setelah Ramadhan meninggalkannya, ucapan dan tindakannya kembali cenderung tak terkendali, syahwat dan birahi diumbar sebanyak-banyaknya. Mereka lupa bahwa Iedul Fitri seharusnya menjadi hari di mana tekad baru dipancangkan untuk menjalankan peran khalifah dan abdi Allah secara lebih profesional.
Kesadaran penuh akan kehidupan dunia yang berdimensi akhirat harus berada pada puncaknya saat Iedul Fitri, dan bukan sebaliknya.


**maaf diatas penggunaan bahasa Indonesia,penulis takut untuk mengubah kerana bimbang makna sebenar akan berubah**

Sunday, August 2, 2009

Futur Jamaah.....

Istilah ‘penat’ amat digeruni aktivis-aktivis dakwah, baik diperingkat tertinggi sehinggalah ke peringkat bawah. Istilah yang telah meragut banyak aktivis-aktivis yang sebelum ini begitu lantang kehadapan memperjuangkan manhaj perjuangan. Perjuangan menentang dasar yang tidak dipersetujui.

Permulaan yang begitu dilihat amat hebat tiba-tiba layu dipertengahan. Penulis juga tidak terkecuali terlintas untuk termasuk didalam golongan tersebut, golongan yang disebut sebagai golongan yang tercicir, tercicir kerana semangat yang berkobar-kobar yang tidak diikuti dengan kefahaman yang jitu, namun penulis cuba untuk memberikan kefahaman didalam diri lebih menebal agar tidak terjerumus kedalam lembah kehinaan itu dengan lebih dalam,

Namun penulis merasakan perlu untuk penulis berkongsi sedikit sebanyak akan kefahaman yang penulis percaya menjadi antara faktor utama yang menyebabkan ‘futur’ jemaah ini berleluasa. Secara keseluruhannya penulis membahagikan sabab musabab ini kepada tiga bahagian:

· Kefahaman

· Beban yang tidak tertanggung

· Jamaah

Kefahaman.

Mengapa perlu berkecimpung didalam hal-hal dakwah?

Kenapa perlu menyampaikan ilmu kepada orang lain?

Kenapa aku? Kenapa tidak orang lain?

Sempurnakan aku untuk menyempurnakan orang lain?

Persoalan-persoalan ini merupakan antara lain menyentuh hal-hal berkaitan kefahaman. Sekiranya kefahaman tidak diletakkan pada peringkat ini, maka seseorang aktivis itu hanya akan bersama hanya pada waktu-waktu tertentu sahaja, mungkin hanya dikampus, dan mungkin hanya satu program,

Apa yang kita lihat hari ini, memang tidak dinafikan hebat sifulan bin si fulan itu berbicara dan mengeluarkan buah bicara dan ide, namun setelah habis pengajian, yang tinggal hanya jejak, pada peringkat kampuznya hebat didalam melawan dan membantah sesuatu isu mahupun isu kampuz atau isu global, namun hanya untuk seketika.

Apabila kefahaman tidak digarabkan pada peringkat awal, maka terhasillah golongan-golongan begini, ini kerana golongan ini tidak dapat memahami erti berjuang berdasarkan ilmu atau semangat, semangat perlu ada tetapi kefahaman adalyang utama, kefahaman perkara asas, semangat boleh luntur dengan berlalunya masa dan usia, namun jika kefahaman ditanam diperingkat awal, maka tiada apa yang boleh menghalang. Islam sendiri menekankan kefahaman didalam beramal, sebab itulah ilmu itu perlu hadir dengan amalan supaya ilmu itu difahami dengan jelas melalui pemerhatian. Ilmu sebagai memberikan ‘general views’ amal sebagai ‘observation’ yang akan memberikan ‘extra explanation’ terhadap ilmu yang dipelajari.

Beban yang tidak tertanggung…

Sem ini aku sibuk la….

Aku nak focus kepada study dulu,

Mak ayah aku hantar aku untuk belajar, bukan wat benda ni je….

Ini merupakan istilah-istilah yang selalu dikeluarkan golongan yang ‘penat’. Istilah yang kadang-kadang membuntukan pucuk pimpinan untuk menjawab dan terpaksa merelakan pemergian aktivis mungkin untuk seketika. Pucuk pimpinan akan tertanya-tanya dan bingung mengapa ini berlaku, beliau yang dahulunya begitu hebat telah mengeluarkan kata-kata yang menyedihkan ini.

Untuk melihat sabab musabab ini, sebenarnya ini semua berlaku antara lain bertitik tolak dari kepimpinan itu sendiri, beban yang diberikan kepada individu itu terlalu banyak, tekanan dari pimpinan terlalu tinggi, walaupun didalam mesyuarat dikatakan dengan pelbagai kata-kata indah seperti ;jangan buat kerja sorang-sorang’ dan sebagainya, namun hakikatnya tekanan diberikan secara tidak langsung.

Perlu diingat bahawa setiap orang mempunyai tahap ilmu yang berbeza, mempunyai kefahaman yang berbeza, mempunyai ‘general view’ terhadap sesuatu isu yang mungkin berbeza,pimpinan tidak boleh menganggap semua ahli dan pimpinan mempunyai fikrah yang sama.

Melalui perbezaan ini, maka golongan sasaran ataupun ruang lingkup dakwah dan ‘level’ kepimpinan seseorang itu adalah berbeza. Ulama’ mempunyai peranan yang besar kerana kefahaman dan ilmu yang dimiliki, itu ulama’, mahasiswa mempunyai ruang lingkup dakwah yang berbeza, pokoknya semua orang mempunyai perbezaan. Jadi pimpinan perlu taaruf, tafahum dan takaful ahli masing-masing. Apabila pimpinan kenal ahli, maka kerja-kerja akan dibahagikan menurut kelayakkan dan ini akan memberikan gambaran yang positif terhadap ahli, ahli akan beranggapan melakukan kerja dakwah ini seronok, menjadi aktivis dakwah ini menenteramkan jiwa, membuang tekanan belajar dan sebagainya.

Didalam sebuah hadis:

Sabda nabi S.A.W. maksudnya:

“wahai Abu Zar, sesungguhnya engkau ini lemah, sedangkan jawatan itu adalah amanah. Ianya pada hari akhirat nanti adalah kerugian dan penyesalan, kecuali sesiapa yang mengambilnya dengan kelayakan dan menunaikan apa yang menjadi tuntutannya(amanah).

Riwayat Imam Muslim.

Didalam hadis ini, hatta Abu Zar sendiri yang merupakan sahabat nabi yang warak dan zuhud, namun begitu amanah jawatan dan politik berhajatkan ciri-ciri yang lebih dari itu yang bukan semua manusia memilikinya.

Jamaah.

Untuk yang ketiganya adalah hal-hal yang berkaitan jamaah itu sendiri. Jamaah yang hanya gah pada nama, yang hanya gah pada sejarah jamaah itu sendiri, jamaah yang asyik-asyik menginkap kisah kuno kejayaan jamaah sendiri hingga lupa dan alpa akan apa yang sedang berlaku dihadapan mata sendiri, apabila kesatuan jamaah yang longgar yang membiarkan seseorang ahli hanya merasakan kehadiran jamaah jika terdapat sesuatu peristiwa sahaja akan membuatkan semangat ahli mundur, sedangkan untuk membina kasatuan fikrah, membina kesatuan pemikiran, untuk membina ukhuwah yang mantap memerlukan setiap ahli jamaah untuk senantiasa bersama dan tidak hanya pada masa yang tertentu sahaja.

Setiap ahli jamaah mempunyai masalah yang tersendiri yang tidak semua ahli sudi untuk menceritakan dalam bentuk ‘mass’. Akan ada segelintir yang bersifat “jika tidak dipecah ruyung, manakan nak dapat sagunya” sifat yang memerlukan pimpinan,naqib untuk melakukan ‘face to face’ yang bersifat individu, yang bersifat privasi ini perlu diberi perhatian. Sekiranya ahli dibiarkan sahaja tanpa proses “follow up”. Keyakinan dan kebergantungan ahli terhadap jamaah akan terhakis, segala semangat yang terhasil dikala tamrin akan pudar, ahli akan merasakan jamaah hanya pada hal-hal yang tertentu sahaja, maka tanggapan ini akan terus-menerus terhasil sehingga akan berlaku tanggapan, jamaah hanya untuk keagamaan sahaja dan tidak pada hal-hal yang melibatkan privasi. Ini bolrh kita umpamakan sebagai tanggapan masyarakat terhadap kepentingan institusi masjid, agama yang hanya berkisar dalam hal-hal agama sahaja(sekularism)

Ini baru tiga faktor yang diketengahkan yang bagi penulis antara punca utama hilangnya kaderisasi, punca yang harus diberi keutamaan oleh pimpinan, mungkin pada orang lain, terdapat faktor yang jauh lebih penting yang harus diberi penekanan, namun inilah yang penulis mampu berdasarkan tahap ilmu penulis yang cetek ini.

Semoga kekurangan yang ada akan diperbetulkan untuk kebaikkan bersama…Wassalam.